Seorang manajer penjualan menghampiri meja Anda dengan ekspresi mendesak. "Tim saya butuh training negosiasi. Penjualan kami melambat, sepertinya mereka kurang gigih saat berhadapan dengan klien."
Sebagai seorang praktisi Learning & Development (L&D) yang berdedikasi, insting pertama Anda mungkin adalah membuka katalog, mencari vendor pelatihan negosiasi terbaik, atau bahkan mulai merancang slide presentasi. Ini adalah respons yang wajar. Namun, berhenti sejenak. Bagaimana jika masalahnya bukan pada skill negosiasi? Bagaimana jika penyebabnya adalah sistem komisi yang tidak memotivasi, produk yang kalah saing, atau proses persetujuan harga yang terlalu birokratis?
Jika demikian, pelatihan negosiasi secanggih apa pun hanya akan menjadi aktivitas yang menghabiskan anggaran tanpa menyelesaikan akar masalah. Inilah jurang pemisah antara "budaya training" dan "budaya belajar" antara sekadar menjalankan aktivitas dan benar-benar memberikan solusi.
Kunci untuk menciptakan dampak bisnis yang nyata bukanlah pada materi yang kita sampaikan, melainkan pada kualitas pertanyaan yang kita ajukan sebelum satu slide pun dibuat.
Pergeseran Peran L&D: Dari "Order Taker" Menjadi "Performance Consultant"
Di dunia bisnis yang terus berubah, peran L&D yang reaktif seperti sekadar menerima pesanan training sudah tidak lagi memadai. Perusahaan tidak butuh "penyelenggara acara pelatihan"; mereka butuh mitra strategis yang dapat membantu memecahkan masalah kinerja.
Model L&D yang reaktif sering kali menjadi pemborosan masif. Sebuah laporan dari Boston Consulting Group (BCG) menyoroti bahwa banyak perusahaan merasa investasi mereka dalam L&D tidak memberikan hasil yang diharapkan karena program yang dijalankan sering kali tidak selaras dengan strategi bisnis utama. Ketika L&D hanya bertindak sebagai "tukang bikin training," mereka kehilangan kesempatan terbesar untuk menunjukkan nilai strategis mereka.
Pergeseran dari order taker menjadi performance consultant (konsultan kinerja) berarti mengubah fokus. Fokusnya bukan lagi pada "Berapa banyak orang yang sudah kita training?" melainkan pada "Masalah kinerja apa yang berhasil kita perbaiki?". Transformasi ini dimulai dengan mengajukan pertanyaan yang lebih baik, lebih dalam, dan terkadang, lebih menantang.
Berikut adalah lima pertanyaan kritis yang akan mengubah cara Anda berdiskusi dengan pimpinan dan memastikan setiap rupiah anggaran L&D Anda memberikan hasil yang terukur.
5 Pertanyaan Kritis Sebelum Anda Membuat Program Training
Ini adalah pertanyaan fundamental yang menggeser seluruh percakapan. Ketika seorang pimpinan meminta "training komunikasi," permintaan itu adalah solusi yang diasumsikan, bukan masalah yang teridentifikasi. Tugas kita adalah menggali lebih dalam.
Mengapa ini penting? "Kurangnya komunikasi" bukanlah masalah bisnis. Itu adalah gejala. Masalah bisnis yang sebenarnya adalah sesuatu yang bisa diukur dan berdampak langsung pada kesehatan perusahaan. Contohnya:
➡️ Tingkat keluhan pelanggan yang meningkat 15% dalam kuartal
terakhir.
➡️ Jumlah proyek yang melewati tenggat waktu karena
miskoordinasi antar-departemen.
➡️ Rendahnya skor keterlibatan karyawan pada survei terakhir di
area "komunikasi atasan-bawahan".
Dengan mengajukan pertanyaan ini, Anda memaksa pimpinan untuk mengartikulasikan masalah dalam bahasa bisnis, bukan bahasa training. Sebuah survei oleh PwC Indonesia terhadap para CEO di tahun 2024 mengungkapkan bahwa prioritas utama mereka adalah pertumbuhan bisnis dan efisiensi operasional. Inisiatif L&D yang bisa secara eksplisit terhubung dengan tujuan ini akan jauh lebih mudah mendapatkan dukungan dan anggaran.
💡 Informasi yang Anda cari:
Dapatkan metrik atau Key Performance Indicator (KPI) spesifik yang sedang tidak tercapai. Alih-alih menerima permintaan "training komunikasi," Anda mungkin akan menemukan bahwa masalah sebenarnya adalah "Kita harus menurunkan tingkat keluhan pelanggan sebesar 20% dalam enam bulan ke depan." Ini adalah target yang jauh lebih jelas dan terukur.
Setelah masalah bisnis teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah mendefinisikan "garis finis". Jika kita tidak tahu seperti apa kesuksesan itu, kita tidak akan pernah tahu apakah kita telah mencapainya.
Mengapa ini penting? Pertanyaan ini mencegah kita jatuh ke dalam perangkap metrik L&D yang dangkal, seperti jumlah peserta atau skor kepuasan (dikenal sebagai smile sheets). Menurut riset dari ATD (Association for Talent Development), meskipun evaluasi Level 1 (reaksi) adalah yang paling umum digunakan, ia memiliki korelasi paling rendah dengan dampak bisnis yang sebenarnya. Keberhasilan harus diukur berdasarkan perubahan perilaku dan hasil bisnis.
💡Informasi yang Anda cari: Minta pimpinan Anda untuk melukiskan gambaran konkret tentang kondisi ideal.
❌ Sebelum: "Tim customer service sering memberikan jawaban yang tidak konsisten kepada pelanggan."
✅ Sesudah: "Setiap anggota tim mampu menyelesaikan 8 dari 10 keluhan pelanggan dalam satu kali interaksi, sesuai dengan standar layanan yang baru."
Definisi keberhasilan ini menjadi dasar Anda untuk merancang intervensi yang tepat dan, yang lebih penting untuk mengukur efektivitasnya nanti. Targetnya harus spesifik, terukur, dan terikat waktu.
Ini adalah pertanyaan diagnosis yang paling berani dan paling berharga. Banyak sekali masalah kinerja yang disamarkan sebagai kurangnya keterampilan, padahal akarnya ada di tempat lain.
Mengapa ini penting? Sebuah studi klasik dari Ferdinand Fournies dalam bukunya "Why Employees Don't Do What They're Supposed To Do and What to Do About It" menemukan bahwa sebagian besar alasan karyawan gagal melakukan tugasnya bukanlah karena mereka tidak tahu caranya, melainkan karena hambatan lain: mereka tidak tahu mengapa mereka harus melakukannya, ada hambatan dalam proses kerja, atau tidak ada konsekuensi positif jika melakukannya.
Memaksakan solusi training untuk masalah non-training tidak hanya membuang anggaran, tetapi juga dapat membuat karyawan frustrasi dan menurunkan kredibilitas departemen L&D.
💡Informasi yang Anda cari:
Lakukan validasi. Tanyakan kepada pimpinan: "Apakah proses kerjanya sudah jelas dan efisien? Apakah mereka memiliki alat (tools) yang dibutuhkan? Apakah sistem insentif kita sudah selaras dengan hasil yang kita harapkan?" Jika jawabannya "tidak" atau "kurang yakin," maka intervensi L&D harus ditunda. Mungkin yang dibutuhkan bukanlah training, melainkan perbaikan alur kerja, penyediaan software baru, atau revisi struktur kompensasi.
Sebuah masalah kinerja jarang sekali berdiri sendiri. Ia sering kali melibatkan berbagai pihak, dan solusinya pun memerlukan dukungan dari berbagai level.
Mengapa ini penting? Riset dari Brandon Hall Group secara konsisten menunjukkan bahwa keterlibatan manajer lini adalah faktor penentu nomor satu dalam keberhasilan transfer pembelajaran dari ruang training ke tempat kerja. Tanpa dukungan manajer, 70-80% pembelajaran akan hilang begitu saja. Manajer adalah kunci untuk memberikan coaching, umpan balik, dan kesempatan bagi timnya untuk mempraktikkan skill baru.
Di konteks Indonesia, budaya hierarkis masih cukup kental di banyak organisasi. Dukungan dan keterlibatan aktif dari atasan langsung menjadi faktor yang lebih krusial lagi untuk mendorong adopsi perilaku baru.
💡 Informasi yang Anda cari: Petakan siapa saja stakeholder kunci.
➡️ Audiens utama: Siapa yang perilakunya perlu diubah?
➡️ Manajer mereka: Bagaimana kita bisa melibatkan mereka untuk
menjadi coach dan agen penguat?
➡️ Pimpinan senior: Bagaimana kita melaporkan progres
dan memastikan dukungan mereka tetap kuat?
➡️ Departemen lain: Apakah ada departemen lain (misalnya, IT atau
Operasional) yang perlu dilibatkan?
Merancang solusi tanpa melibatkan ekosistem pendukungnya sama seperti menanam benih di tanah yang tandus.
Pertanyaan ini berfungsi untuk menguji urgensi dan memvalidasi prioritas. Dalam kesibukan operasional, banyak masalah yang terasa penting, namun tidak semuanya mendesak atau memiliki dampak bisnis yang signifikan.
Mengapa ini penting? Pertanyaan ini membantu pimpinan dan Anda untuk menghitung cost of inaction (biaya jika tidak melakukan apa-apa). Ini mengubah perspektif dari "training adalah biaya" menjadi "tidak menyelesaikan masalah ini adalah kerugian yang lebih besar." Ini adalah alat yang sangat ampuh untuk membangun justifikasi bisnis (business case) untuk program Anda.
💡Informasi yang Anda cari: Kuantifikasi dampaknya dalam bahasa
bisnis.
"Jika tingkat keluhan pelanggan ini berlanjut, kita berisiko kehilangan X% pelanggan setia dalam setahun, setara dengan potensi kerugian pendapatan sebesar Rp Y miliar."
"Jika turnover di tim teknisi kita tidak diatasi, biaya rekrutmen dan onboarding untuk menggantikan mereka akan mencapai Rp Z ratus juta per kuartal."
Ketika konsekuensi dari tidak bertindak menjadi jelas dan terukur, maka investasi untuk solusi yang tepat (baik itu training maupun non-training) menjadi jauh lebih mudah untuk disetujui.
Mengubah Percakapan, Mengubah Dampak
Dengan berbekal lima pertanyaan ini, percakapan Anda dengan para pemangku kepentingan akan berubah secara fundamental. Anda tidak lagi datang sebagai penyedia layanan, tetapi sebagai mitra pemecah masalah.
Diskusi akan bergeser:
Dari : "Berapa lama dan berapa biaya training-nya?"
➡️ Menjadi : "Bagaimana kita bisa bersama-sama meningkatkan metrik
bisnis ini sebesar X%?"
Dari : "Tolong buatkan training"
➡️ Menjadi : "Mari kita analisis bersama akar masalah kinerja ini."
Ini adalah jalan untuk mengangkat fungsi L&D dari sebuah cost center yang reaktif menjadi value driver yang proaktif. Anda tidak hanya akan lebih dihormati, tetapi program-program yang Anda hasilkan akan jauh lebih mungkin untuk berhasil dan memberikan dampak yang membanggakan.
Lain kali seorang manajer datang kepada Anda dengan permintaan training, tarik napas, tersenyum, dan mulailah dengan pertanyaan pertama: "Terima kasih sudah datang kepada saya. Boleh ceritakan, masalah bisnis apa yang sebenarnya ingin kita selesaikan?"
Dari Aktivitas Sibuk Menuju Dampak Nyata
Pada akhirnya, kelima pertanyaan ini lebih dari sekadar daftar periksa; ia adalah sebuah manifesto untuk L&D modern. Mengajukannya secara konsisten akan membangun kebiasaan berpikir kritis dan konsultatif di dalam tim Anda. Ini adalah cara untuk membebaskan diri dari "tirani kesibukan"—siklus tanpa akhir dalam merancang dan menyelenggarakan pelatihan yang dampaknya jarang terukur.
Dengan berfokus pada diagnosis masalah terlebih dahulu, Anda memastikan bahwa setiap jam, setiap rupiah, dan setiap energi yang diinvestasikan dalam pengembangan karyawan benar-benar diarahkan untuk mendorong jarum penunjuk performa bisnis ke arah yang benar.
Kesimpulannya, keterampilan paling strategis yang bisa dimiliki oleh seorang profesional L&D bukanlah kemampuan mendesain slide yang indah atau berbicara di depan umum, melainkan keberanian dan kemahiran untuk mengajukan pertanyaan yang tepat. Inilah yang membedakan seorang administrator pelatihan dari seorang arsitek talenta. Dengan bergeser menjadi seorang konsultan internal yang proaktif, Anda tidak hanya meningkatkan nilai departemen L&D, tetapi juga menjadi motor penggerak yang esensial bagi pertumbuhan dan ketangkasan organisasi Anda di tengah persaingan yang semakin ketat.
Jadilah Mitra Strategis yang Dibutuhkan Perusahaan Anda
Merasa siap untuk memulai percakapan yang lebih strategis namun butuh mitra diskusi untuk mempertajam diagnosis Anda? Di ABT Learning, kami tidak hanya menyediakan konten pembelajaran, tetapi kami bersemangat untuk menjadi mitra konsultatif bagi tim L&D. Mari kita bedah bersama tantangan bisnis Anda dan rancang intervensi yang benar-benar memberikan hasil. Jadwalkan sesi diskusi gratis dan mulailah perjalanan Anda dari penyedia training menjadi penggerak perubahan.